DISKUSI AWAL : NIAT
Semisal ada pertanyaan, “berapa lama saya harus belajar,
sehingga menjadi jagoan berkelahi?”, atau “bisakah saya menjadi seorang Tai Chi
Master bersertifikat?”, atau minimalnya, “saya ingin bisa beladiri dengan cara
Tai Chi karena saya tidak cocok dengan beladiri yang pernah saya pelajari
sebelum-sebelumnya..”..
Pertanyaan tipe lain: “Saya sakit diabetes, berapa lama saya
bisa sembuh dengan senam Tai Chi?”, “Apakah Tai Chi bisa bikin anak saya jad
pintar?”, atau, “Mana yang lebih baik untuk relaksasi, Yoga atau Tai Chi?”…
Kadang juga ada komentar miring seperti berikut:
“Tai Chi itu kan cuma untuk orang-orang tua…Kalau orang muda
mending main futsal..”
“Tai Chi itu tenaga dalam kan? Pake jin ya?…”
“Kalau olahraga kenapa Tai Chi gerakannya pelan? Kapan bisa
berkeringat?”
“Tai Chi beladiri asing, tidak nasionalis, mending pencak
silat aja..”
“Tai Chi enggak keren, mending Taekwondo, soalnya saya kan
suka K-Pop..”
Mengutip seorang tokoh, Ali bin Abi Thalib r.a., “Jangan
katakan seperti apa dirimu, karena orang yang menyukaimu tidak butuh itu, dan
orang yang membencimu tidak percaya itu.” Memang tidak begitu ada bedanya kita
meng-ekspose tentang Tai Chi atau menyimpannya rapat di balik pintu gerbang
perguruan. Namun, tak kenal maka tak sayang, dan membiarkan orang mengetahui
keberadaan (mengenal) kita adalah tindakan yang sopan. Maka dari itu mari kita
bahas sedikit mengenai apa dan bagaimana Tai Chi, khususnya di komunitas kita
ini.
TAI CHI CHUAN APA ADANYA, APA SAJA ADA (Menjawab Pertanyaan)
Tak disangkal, awalnya nama Tai Chi Chuan (‘pukulan’ Tai
Chi) adalah nama untuk beladiri yang didasarkan pada filosofi keseimbangan alam
semesta. Tai Chi juga bersifat literer, karena memiliki sumber tertulis, mulai
dari Tao Te Jing, hingga Taijiquan Lun karya pendekar Wang Zong Yue. Tapi
sebagai beladiri, unsur filosofis tidak bisa lepas sedikitpun, bahkan sangat
kuat terlibat. Tai Chi sendiri berarti “keadaan mutlak”, The Supreme Ultimate,
akhir (kondisi) yang paling baik, “ketinggian dan kedalaman”, dan Tai Chi
mempunyai inti berupa keseimbangan dari Yin dan Yang. Sebagai beladiri, Tai Chi
adalah teknik bertarung yang – menurut sejarah maupun legenda – mengungguli
ilmu beladiri lain di seantero China. Namun tentunya sesuatu yang tinggi tidak
mudah untuk dicapai. Jadi meskipun sekarang adalah jaman serba instan, tapi
tidak ada cara instan untuk mampu menguasai beladiri Tai Chi.
Apakah untuk menguasai beladiri, guru kita harus seorang
pendekar? Apa tolok ukur dari pendekar, mampu membela diri (secara
demonstratif)? Atau sering bertarung dan telah mengalahkan banyak orang? Dalam
latihan kungfu tradisional China, dikenal tiga hal pokok yaitu metode, teknik,
dan kerja keras. Untuk menguasai teknik kita harus berusaha keras berlatih
sesuai dengan cara/ metode yang tepat. Kungfu sendiri secara harfiah adalah
sebuah istilah yang artinya “hasil dedikasi dan kerja keras dalam waktu lama”
sehingga kungfu tidak selalu berada dalam ranah beladiri. Dalam mempelajari
baik kungfu maupun Wu Shu (seni bertarung) seorang murid didahulukan memiliki
Wu De (moralitas) sehingga mampu ber welas asih dan menghormati orang lain,
dimulai dari menghormati dirinya sendiri dengan menjaga diri, tekun berlatih,
dan tidak bermalas-malasan. Menghormati guru juga aspek penting dalam
pendidikan tradisional, guru di Tiongkok kuno dianggap lebih mulia daripada
orangtuanya sendiri. Selain menghormati diri dan orang lain, seorang murid haruslah
menjadi penolong dan penuh welas asih terhadap sesama. Sebab menjadi pendekar
bukan hanya soal mampu menyelamatkan diri dan mengalahkan orang lain, melainkan
juga bagaimana menolong orang lain, sekalipun itu berarti harus mengalahkan
diri sendiri dulu (tidak menindas orang lain). Jadi, intinya, tujuan dari
menguasai beladiri mestinya bukan sekedar mencari kecocokan apalagi selera,
misalnya ketika seseorang suka dengan beladiri yang brutal maka dia tidak akan
suka dengan tipe lembut, dan sebagainya.
Mengaitkan beladiri dengan keyakinan atau agama, juga bukan
hal yang bijak. Mari anggap Tai Chi Chuan sebagai sebuah “aktivitas”, bukan
sekedar latihan beladiri. Bila ternyata secara turun-temurun ataupun ilmiah
telah terbukti bahwa berlatih Tai Chi menyembuhkan penyakit, menyehatkan badan,
dan lainnya, tetaplah tidak bijaksana jika kita mempunyai tendensi khusus.
Sebab Tai Chi itu ibarat madu, ia boleh digunakan untuk pengobatan atau
kecantikan, namun ia tetap harus diterima sebagai madu secara utuh. Aktivitas
berlatih Tai Chi tetap harus menggunakan metode dan membutuhkan kerja keras
untuk menggapai teknik yang benar, meski dalam pembatasannya, praktisi yang
berlatih untuk kesehatan mungkin tidak dilatih/ berlatih combat training dan hanya melakukan Taolu sebagai senam saja. Lagipula,
masalah apakah di dalam latihan Tai Chi ada energy ‘ghaib’ bernama chi, atau
fakta bahwa harus mendalami falsafah yang berasal dari keyakinan Taoisme, tidak
perlu dibenturkan dengan keyakinan keagamaan yang sempit. Justru dengan
memahami Tai Chi, seseorang bisa menemukan pandangan yang lebih luas terhadap
aspek spiritualnya. Tai Chi mengajari untuk sabar, telaten, dinamis, adaptif,
dan juga progresif. Melalui apa? Tentu melalui aktivitas latihannya, gerakannya
yang lembut dan harus dilakukan perlahan, halus, dan berkesinambungan. Pengaruh
pernapasannya yang mendalam juga memberi kontribusi dalam
psiko-fisik-spiritual. Sebab kekhusyukan beribadah juga terkait dengan keadaan
psikis maupun fisik, baik itu soal syaraf, aliran darah, irama jantung, dan
lainnya.
Tai Chi sebagai olahraga masyarakat sebenarnya merupakan hal
yang gampang-gampang susah. Dari awalnya, Tai Chi adalah beladiri yang
dilahirkan di tengah-tengah kekhusyukan meditasi para Taois. Bahkan sampai kini
ada yang memang menggunakan latihan Tai Chi sebagai sarana menggembleng diri
dalam spiritualitas, seperti Yoga atau Samadhi. Namun Tai Chi sendiri, sejak
dikembangkan di luar lingkungan Taois, lalu digubah dan diperkenalkan sebagai
senam massal, telah tumbuh secara berbeda dan mempunyai tempat tersendiri. Ironisnya,
meski secara empiris dan medis telah banyak yang menyatakan pengaruh latihan
Tai Chi dalam mengobati penyakit/ menyehatkan badan, namun masih sulit untuk
menjadi populer. Reputasinya dalam dunia kedokteran masih kalah dengan banyak
sentiment seperti etnis, keyakinan, dan tidak mampu merebut hati masyarakat
yang terlebih dulu terikat dengan popularitas lain. Misalnya saja, di suatu
daerah, kebanyakan orang sentiment terhadap etnis Tionghoa, menjadikan olah
raga ini dipandang sebelah mata. Sebaga bela diri ia kalah populer atau kalah
toleransi dibandingkan beladiri dari Jepang dan Korea. Kadang juga ada
sentiment nasionalisme yang menolaknya karena dianggap bukan budaya lokal,
sedang budaya lokal dianggap lebih patut di apresiasi. Keyakinan agama tertentu
(yang sempit) juga menuduh Tai Chi mempromosikan agama Taoisme, perlahan
menggeser keyakinan agama yang lebih dulu dipeluk. Atau, minimalnya, ada aspek
tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan aspek dalam keyakinan agamanya,
semisal tenaga ‘chi’ dianggap kuasa kegelapan, dsb.
Tak kenal, maka tak sayang. Komentar bahwa Tai Chi
gerakannya lamban – tidak seperti senam aerobik – sehingga tidak akan
berkeringat, menandakan bahwa si pemberi komen adalah orang yang tidak tahu Tai
Chi sama sekali. Jelas bahwa perbedaan konsep kesehatan akan mempengaruhi
pandangan terhadap aktivitas kita. Apalagi jika pandangan itu adalah soal keren
atau tidak keren, membandingkan antara Tai Chi dari China dengan Taekwondo dari
Korea, atau Karate Jepang. Jika alasan seseorang suka Taekwondo karena ia demam
K-Pop dan drama Korea, seperti suka produk budaya Jepang yang bermula dari
Anime, maka itu jelas salah kaprah. Ini bukan semata soal budaya atau etnis
mana yang sedang dianggap keren. Lebih tepatnya, ini adalah soal pemahaman dan
bukan perasaan semata-mata. Namun seberapapun hebatnya Tai Chi dalam
penyembuhan penyakit atau beladiri, tetap Tai Chi hanyalah alat untuk
digunakan, jalan untuk dilalui, bukan dewa penyembuh atau obat instan sekaligus
senjata super. Tai Chi bagi praktisinya, adalah sebuah gaya hidup seperti
halnya mandi, gosok gigi, atau pola makan. Kita lakukan latihan Tai Chi karena
dengan begitulah Tai Chi berguna untuk kita. Bukan karena hal itu keren atau
tidak keren lantas dilakukan atau tidak. Jadi, bagi yang sudah mengenal Tai
Chi, rasa suka memang ada, tapi bukan karena suka itulah maka melakukan latihan
Tai Chi.
As one tai chi master was fond of saying, “Everybody wants to be healthy, only some people want to learn how to fight.”Those who do want to learn how to fight using tai chi should be aware that to be successful demands copious hard work. It also requires the willingness to persevere through frustrations and disappointments, both physical and emotional, just as is required of any successful high achiever in any competitive athletic, business, artistic, or intellectual endeavor. (Bruce Frantzis; The Eight Principles of Tai Chi Chuan)
Aslinya, Tai Chi dikenal di Tiongkok bukan karena aspek
kesehatannya, melainkan dari keunggulannya dalam mengimbangi beladiri lain. Akan
tetapi sebagamana seorang master Tai Chi pernah berkata, “setiap orang ingin
menjadi sehat, hanya beberapa yang ingin belajar bertarung”.
Sesiapa yang ingin belajar bagaimana bertarung cara Tai Chi
harus menyadari perlunya kerja keras. Juga, diperlukan kemauan untuk melalui
masa-masa frustasi dan kekecewaan, baik secara fisik maupun emosional,
sebagaimana yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan atau prestasi lain dalam berbagai
bidang kehidupan ini.
Jadi, lebih baik kita berniat berlatih Tai Chi untuk kesehatan fisik dan mental meskipun tidak menolak bahwa ini adalah aktivitas latihan bertarung/ bela diri. Daripada sakit mental karena terus terbayang keinginan untuk menjadi jagoan, mengalahkan seseorang dalam pertarungan, atau selalu was-was karena takut terlibat dalam pertarungan, akhirnya kondisi mental tidak damai dan tidak jadi bisa berlatih secara proper.